Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di zaman Jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya.Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar (Sabiq. 2010: 53). Kata lain dari mahar pada zaman sekarang ini adalah maskawin.
Maskawin dalam pembahasan fikih munakahat memiliki beberapa sebutan.Bahkan As San’ani dalam kitab Subulussalam menyatakan bahwa terdapat delapan sebutan untuk maskawin yaitu shidaq, mahar, nahlah, faridhah, hiba’, ajr, ‘uqr, dan ‘alaiq.Kesemua istilah diatas jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan maskawin. Sedangkan secara istilahi, para ulama memberikan beberapa pengertian.Ulama telah bersepakat bahwa mahar hukumnya wajib.Mereka mencapai kesepakatan tersebut karena banyaknya nash-nash baik Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah yang memerintahkan mahar. Misalnya firman Allah pada surah An-Nisa ayat 24-25 serta hadis di atas. Selain itu, kedudukannya sebagai syarat nikah, bahkan rukun nikah menurut Imam Malik menyebabkan pemberian mahar menjadi sesuatu yang diwajibkan. Mahar sebaiknya tidak terlalu memberatkan calon suami agar terjadi kesepakatan dalam pelaksanaan dalam memahami ajaran islam terutama dalam hal yang berhubungan dengan kemaslahatan dalam sebuah pernikahan. Mahar haruslah sesuai dengan kadar kemampuan suami, jika memang suaminya seorang yang mampu, maka tidak ada salahnya memberikan mahar yang tinggi untuk menyenangkan hati istrinya. Namun jika ia seorang yang kurang mampu maka pihak istri harus ridha dengan mahar yang disanggupi pihak suami. Permasalahan yang terjadi sekarang orang tidak lagi berpandangan pada hukum islam, disebabkan karena adanya desakan dari tradisi yang membuat seorang wali yang akan menikahkan anak harus melakukan resepsi besar-besar sehingga yang terbebani adalah dari pihak yang akan menikahi anak si wali tersebut. Secara hukum ini hal ini sangat memberatkan dan tidak lagi sesuai dengan hukum akad pernikahan itu sendiri terutama saat akan terjadi lamaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Hal ini disebabkan kurang pemahaman dari pihak perempuan dalam melaksanakan akad nikah yang disesuikan dengan hukum islam. Sebenarnya jika ditinjau dari hukum perjanjian akad nikah, berarti adanya pemaksaan dari hukum nikah itu sendiri, karena seakan-akan mahar tersebut adalah sejenis material yang harus dan wajib dikeluarkan dalam jumlah yang banyak. Padahal sesuai dengan aturan islam mahar tersebut diberikan secara keikhlasan dan kerelaan sebagai suatu akad atau perjanjian berdasarkan dari kedua belah pihak yang menyetujui adanya pernikahan.