Secara umum bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abdullah bin Masúd radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (baru) dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kita tidak menolak bahwa bid’ah memang ada baik secara faktual maupun secara konsep sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas. Bahkan sebagian bid’ah adalah dlalalah atau sesat kita mengakuinya. Hanya saja kita menolak pemahaman bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah karena memang tidak setiap bid’ah adalah dlalalah. Ada bid’ah yang bisa dibenarkan meski Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukannya.
Beberapa kelompok kerap kali mempersoalkan praktik atau amaliyah kegamaan yang berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari bid’ah yang harus dihapus. Hal ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun, menurut Ketua PCNU Jember, Jawa Timur KH Abdullah Syamsul Arifin(Gus Aab), bid’ah atau sesuatu yang baru yang tidak ada di zaman Rasulullah patut dipersoalkan bukan karena barunya, melainkan jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan syariat. Jadi, jika sesuatu yang baru itu baik, maka tidak ada persoalan.
Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa sesuatu yang mempunyai cantolan pada syariat tidak boleh dikatakan bahwa hal itu bid’ah hanya karena tidak ada atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Apa yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW, tak boleh disimpulkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. “Dakwah untuk menyampaikan syariat sangat terbatas saat itu, baik di fase Mekkah maupun Madinah. Maka tidak semuanya sempat dipraktikkan oleh Rasulullah. Jadi, sesuatu yang belum atau tidak sempat dikerjakan oleh Rasulullah bukan berarti tidak boleh dilakukan,” papar Gus Aab. Ia menerangkan tentang sunnah hamiyyah atau hadits hammi. Sunnah ini menjelaskan, sesuatu yang telah direncanakan oleh Rasulullah tetapi belum terlaksana hingga Rasulullah wafat. Gus Aab mengungkapkan, Rasulullah memang tidak mengerjakan hal-hal baru yang saat ini dikerjakan umatnya, tetapi mengerjakannnya dalam bentuk lain.
Menurut Gus Aab, perayaan maulid, istighostah, tahlil, ziarah kubur, dan lain-lain adalah tradisi (‘adah) yang tidak bertentangan dengan syariat. “Bahkan bisa begeser mendatangkan pahala jika diisi dengan amal ibadah. Contoh menghadirkan kembali Rasulullah ke tengah-tengah kita. Itu ada dalam perayaan Maulid Nabi,” urainya. Ia berpandangan, dalam Al-Qur’an saja, Allah menceritakan kepada Muhammad SAW riwayat para Nabi terdahulu, maka manusia sebagai umatnya juga harus menghadirkan cerita-cerita Rasulullah. Ia menjelaskan, Maulid merupakan ekspresi kegembiraan umat Rasulullah. Manusia dianjurkan untuk bergembira dengan kelahiran Rasulullah. “Rasulullah saat ditanya, kenapa berpuasa pada hari Senin, Ia menjawab, hari itu saya dilahirkan dan menerima wahyu. Jadi, puasa hari Senin itu satu bentuk ekspresi kegembiraan, bukan puasanya tetapi rasa gembiranya itu, boleh dengan perayaan dan ekspresi kegembiraan lainnya asal sesuai syariat