Al-Qur’an adalah kitab suci bagi semua umat manusia di dunia ini -yang diturunkan Allah SWT dengan jalan mutawattir kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjazat kerasulannya, yang berisi Wahyu Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah yang terang dan jalan yang lurus- agar manusia beriman kepada Allah SWT sebagai pencipta Alam semesta sehingga mustahil untuk meyakini tuhan selain-Nya, juga meyakini bahwa Allah SWT mengutus seorang rasul untuk menjelaskan pesan yang terkandung dalam wahyu-Nya tersebut sehingga tidak ada umat yang mempertanyakan apakah petunjuk Allah telah datang sehingga kami mendapat siksa? dan sesunguhnya Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.
Setelah wahyu Allah turun ke bumi maka kewajiban manusia tidak lain hanyalah ingat (Dzikr) bahwa penciptaan mereka tidaklah sia-sia, tetapi telah di-skenario-i langsung oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT yang mengatur segala urusan di langit dan di bumi, mewajibkan taat terhadap segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan ditauladani langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Setiap ayat yang turun Nabi SAW langsung menjelaskan kandungannya, dan setiap peristiwa mendapatkan jawaban dari wahyu yang turun kepadanya –sahabat bertanya Nabi menjawab, tidak menurut hawa nafsunya tetapi apa yang diwahyukan Allah- dan maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Memang benar ketika masa Nabi SAW semua ketidaktahuan sahabat terhadap ayat Al-Qu’an bisa langsung ditanyakan pada Nabi SAW tentang maksudnya, tetapi untuk masa setelah wafatnya Nabi SAW tidak ada lagi penjelasan oleh nabi, hanya tinggal Hadits, khabar, Atsar yang diyakini asli dari nabi yang dapat dijadikan rujukan. Seperti penjelasan atau penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadits yang menerangkan Asbabun Nuzul mengenai turunnya ayat tersebut, akan tetapi permasalahan selanjutnya timbul, bagaimana dengan ayat yang tidak ada Asbabun Nuzulnya? Sebagian ulama memasukkan sebuah ilmu yang termasuk dalam kategori ulumul qur’an yaitu Munasabah Al-qur’an.
Lahirnya pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaiman terdapat dalam Mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adlah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara’ah/At-Taubah [9] yang dipandang bersifat ijtihad.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakr Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat yang ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah [2], kemudian An-Nisaa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3] .