Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan Maqomat dan Ahwal keduanya dikatakan sebagai rukun atau pondasi tasawuf. Tidak mungkin ada tasawuf, baik sebagi ilmu pengetahuan atau sebagai amalan tanpa kehadiran maqomat dan ahwal. Dalam menjalani proses maqomat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi terbang mengembara dan menemukan hakikat hidup, manusia dan tuhan yang maha agubg dan indah.
Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal yang merasakan noikmatnya yang berada puncak spiritual yang tidak terkatakan dan tidak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan dan rohani itu secara terbatas oleh Abu Yazid disebut ijtihad, Al Hallaj menyebutkan hulul, al Ghazali menamainya ma’rifat, al Sarraj menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan jalaluddin rumi menamainya dengan mahabbah.
Begitulah, setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya bertemu sang kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan (bahasa manusia).